Benarkah Trump Telah Membocorkan Informasi Rahasia kepada Rusia?
The Washington Post merupakan media pertama yang memublikasikan mengenai pembeberan informasi rahasia oleh Trump dengan mengutip sumber anonim dari kalangan pejabat pemerintah. Dalam publikasi itu, media tersebut melaporkan bahwa Presiden AS Donald Trump dalam pertemuan tertutupnya dengan Menlu Rusia Sergey Lavrov, (10/5), diduga telah membocorkan informasi rahasia yang mengungkapkan metode operasi yang digunakan oleh intelijen AS dan sekutunya, serta sumber-sumber informasi lainnya.
Sang pemimpin AS tersebut memang memiliki wewenang untuk mengumumkan seluruh informasi serta membuat keputusan mengenai penggunaan informasi tersebut lebih lanjut. Dengan demikian, meski banyak yang menyebut tindakan Trump tidak pantas dan berisiko tinggi, bagaimanapun mereka tidak dapat menyebut Trump melanggar hukum.
Pertemuan Trump dengan Lavrov diadakan sehari setelah pemecatan Direktur FBI James Comey yang bertanggung jawab atas perlindungan rahasia negara. Penasihat Keamanan Nasional AS H.R McMaster di sisi lain menjelaskan bahwa Trump dan Lavrov hanya membahas mengenai pendekatan untuk melawan organisasi teroris ISIS, termasuk adanya kemungkinan ancaman serangan terhadap pesawat sipil. McMaster menekankan bahwa Trump tidak membocorkan metode khusus yang dilakukan intelijen ataupun narasumber.
'End-user'
Siapakah yang merupakan pengguna akhir (end user) dari informasi yang diberikan oleh intelijen? Sesungguhnya, pengguna akhir adalah kepala negara itu sendiri. Setiap harinya, seorang kepala negara menerima laporan rahasia di atas meja kerjanya. Khususnya bagi seorang presiden AS, membaca laporan rahasia tersebut sudah seperti membaca koran pagi sambil menikmati secangkir kopi bagi orang-orang biasa. Dalam kasus besar (seperti aksi terorisme, memanasnya konflik lokal, serta kemungkinan serangan militer), sang kepala negara akan menerima memorandum terpisah. Bagi sebagian negara, seorang kepala intelijen secara berkala langsung menyajikan kumpulan informasi penting kepada kepala negara. Seorang kepala negara tidak tahu menahu mengenai metode untuk memperoleh informasi serta narasumbernya. Pemimpin negara hanya membutuhkan informasi, bukan bagaimana caranya informasi tersebut didapatkan.
Meski begitu, kepala negara harus mengetahui segala operasi intelijen yang paling penting. Selama Perang Dunia II, Inggris merusak mesin transmisi (cipher) Enigma milik Jerman dan mendapatkan akses ke banyak informasi mengenai rencana Nazi Jerman. Perdana Menteri Inggris Winston Churchill mengambil keputusan untuk menggunakan informasi tersebut. Secara khusus, ia sengaja tak berupaya mencegat beberapa serangan udara pada kota-kota di Inggris, ia khawatir bahwa aksi AU Inggris yang sukses mencuri informasi membuat Jerman sadar bahwa sistem transmisi data mereka telah dirusak.
Tidak seperti Churchill, pemimpin Soviet Nikita Khrushchev justru sangat ceroboh dalam menangani informasi rahasia. Dalam laporan pencabutan jabatan Khrushchev pada sidang Pleno Oktober 1964 silam dinyatakan secara eksplisit bahwa dalam percakapannya, ia berulang kali membocorkan informasi sensitif terhadap pihak asing mengenai angkatan bersenjata dan program luar angkasa Rusia. Namun, tindakan seperti itu oleh pemimpin negara jarang sekali terjadi dalam sejarah dunia.
Sinyal yang baik bagi Rusia
Pemimpin-pemimpin Rusia yang terakhir tidak pernah lagi membeberkan informasi rahasia. Media-media Rusia juga menerima informasi dari sumber-sumber resmi mengenai pertemuan tertutup di tingkat tertinggi. Oleh karena itu, Trump mungkin menganggap Lavrov sebagai salah satu mitra terpercaya untuk saling bertukar informasi dan bersama-sama memerangi terorisme.
Setelah terjadinya insiden serangan baru-baru ini di pangkalan udara Hmeymim Shayrat, tidak ada lagi pertukaran informasi mengenai ISIS antara intelijen dan militer dari kedua negara. Meski begitu, sangat jelas terlihat bahwa Trump — yang memimpikan kesuksesan di Timur Tengah — ingin meminta dukungan dari Rusia. Ia adalah satu-satunya orang yang berwenang secara hukum memberikan informasi rahasia kepada Moskow mengenai rencana-rencana ISIS, oleh karena itu melakukannya dengan tangan sendiri. Sangat mungkin bahwa kedatangan Sergey Lavrov kembali ke Moskow membawa sejumlah informasi serius yang akan dimanfaatkan untuk melawan Islam radikal di Suriah secara efektif. Tentu saja, Trump akan mendapatkan sesuatu sebagai balasannya.
Setelah pemecatan yang kontroversial terhadap James Comey, kini semakin banyak yang mengecam Trump. Sejak 15 Mei, muncul kampanye yang mengkritik dirinya karena membocorkan rahasia intelijen dan mungkin akan mempengaruhi pamornya sebagai presiden. Tetapi, dalam situasi ini, penting jika pemimpin Amerika bersedia melanjutkan pertukaran informasi mengenai terorisme dengan Rusia. Hal tersebut dapat memberikan kemajuan yang signifikan dalam memerangi ISIS, dan pada akhirnya akan meningkatkan popularitas presiden AS ke-45 ini.